Selasa, 08 Januari 2013

PEREKONOMIAN JEPANG PASCA PERANG DUNIA II


BAB I
 PENGANTAR
1.1  Latar belakang
            Depresi yang terjadi di Amerika tahun 1930-an yang memberikan efek domino kepada Negara-negara dunia yang menimbulkan keadaan chaos dan mengakibatkan krisis ekonomi.  Jepangpun tidak luput dari krisis tersebut. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik bangkrut sehingga kota-kota dipenuhi pengangguran. Ekonomi Jepang yang tidak dapt dipulihkan kembali semenjak ditetapkannya Manchuria sebagai “garis hidup Jepang” yang juga merupakan awal dari gerakan militerisme dan melakukan kudeta terhadap perdana Menteri mereka sehingga pemerintahan Jepang dikuasai oleh militer kemudian berimplikasi keikutsertaannya dalam Perang Dunia II.
            Perang Dunia II adalah konflik militer global yang terjadi pada 1 September 1939 sampai 2 September 1945 yang melibatkan sebagian besar negara di dunia, termasuk semua kekuatan-kekuatan besar yang dibagi menjadi dua aliansi militer yang berlawanan: Sekutu (Amerika, Inggris, Perancis dan lainnya), Sentral (Jepang, Jerman, dan Italia) dan Komunis (Uni Soviet). Perang ini merupakan perang terbesar sepanjang sejarah. Dalam keadaan "perang total," pihak yang terlibat mengerahkan seluruh bidang ekonomi, industri, dan kemampuan ilmiah untuk melayani usaha perang, menghapus perbedaan antara sipil dan sumber-sumber militer. Lebih dari tujuh puluh juta orang, mayoritas warga sipil, tewas. Hal ini menjadikan Perang Dunia II sebagai konflik paling mematikan dalam sejarah manusia. Perang Dunia II berkecamuk di tiga benua tua; yaitu Afrika, Asia dan Eropa.
            Jepang merupakan salah satu peserta Perang Dunia II menjadi pihak yang menagalami kekalahan. Akibat dari kekalahan tersebut menimbulkan suatu gejala konflik yang terjadi di intern Negara, perekonomian Jepang semakin memburuk akibat banyak perusahaan dan pabrik yang bangkrut karena perasaan takut dari para investor yang melihat kondisi politik yang chaos sehingga kota-kota dipenuhi oleh pengangguran dan mengakibatkan banyak penduduk yang kelaparan.
            Amerika yang masih sakit hati akibat serangan Pearl Harbour sehingga tersimpan niat untuk menghancurkan Jepang hingga kehidupan sosialnya. Namun jauh dari perkiraan segala bentuk kebijakan Jepang yang seharusnya dapat meluluhlantahkan Jepang malah mengambil keuntungan dari hal tersebut, karena Amerika lebih memfokuskan kepada perang non-fisik dengan Uni Soviet.
           


1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaiamana kondisi ekonomi Jepang sebelum Perang Dunia II?
2.      Bagaimana kondisi ekonomi Jepang pasca Perang Dunia II?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui kondisi ekonomi Jepang pasca Perang Dunia II
2.      Umntuka mengetahui kondisi ekonomi Jepang pasca Perang Dunia II



BAB II. PEMBAHASAN


2.1  Jepang Menuju Perang Dunia II

            Depresi di Amerika menarik dunia ke dalam keadaan “chaos”. Produk industry di Negara-negara kapitalis anjlok. Harga-harga bahan makanan dan bahan-bahan mentah industry jatuh tidak terkendali. Kondisi ini menghantam Negara-negara jajahan, terutama Negara-negara yang mengandalkan hasil pertanian. Uni Soviet adalah salah satu Negara yang paling merasakan depresi tersebut.
            Jepangpun tidak luput dari pengaruh depresi dunia. Banyak penrusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik bangkrut sehingga kota-kota dipenuhi pengangguran. Barang-barang manufaktur tidak terjual di pasar domestic, sehingga terpaksa dilemparkan ke luar negeri dengan harga yang murah. Harga sutra mentah  dan beras, yang merupakan andalan ekonomi Jepang sejak zaman Meiji, jatuh secara drastis, yang mengakibatkan depresi semakin mencekam. Dalam kondisi ini, kerap terjadi pemogokan buruh di kota-kota dan perlawanan petani di desa-desa. Kondisi ini memberi lahan subur bagi berkenbangnya ideologi sosialis.[1]
            Ekonomi Jepang yang juga tak terelakkan dari pengaruh depresi dunia dapat dipulihkan kembali sejak ditetapkannya Manchuria sebagai “garis hidup Jepang” yang juga merupakan awal dari gerakan militerisme. Frustasi militer terhadap partai politik yang tidak sanggup menyelesaikan krisis ekonomi mendorong para perwira menengah Angkatan Laut membunuh Perdana Menteri Inukai tsuyoshi. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Go Ichi Go Jiken (peristiwa 15 Mei 1932). Setelah peristiwa ini, partai politik yang telah berkuasa kembali selama delapan tahun sejak 1924 didepak dari kekuasaan dan sejak itu jabatan perdana menteri dipegang oleh birokrat dan panglima-panglima militer.
            Pemerintah militer Jepang percaya bahwa Jepang tidak akan mampu mengalahkan Cina, karena Amerika dan Inggris mengirimkan bantuan ke Cina melalui Asia Tenggara. Dalam kondisi ini Jepang berencana memutuskan hubungan Inggris dan Amerika dengan cara menduduki Negara-negara Asia Tenggara. Jepang yang meniru Jerman dalam mengeksploitasi bahan baku Negara-negara lain merancang kebijakan ke selatan dalam upaya memperoleh bahan baku di kawasan Asia Tenggara.
            Ketika Hideki Tojo menjadi perdana menteri negosiasi dengan Amerika tetap dilakukan sambil menyiapkan perang dengannya. Puncak dari rencana ini adalah penyerangan Pearl Harbour secara tiba-tiba pada tanggal 8 Desember 1941. Hal tersebut merupakan titik awal terjadinya Perang Pasifik dengan hasil tidak menguntungkan bagi pihak Jepang dengan kekalahan di berbagai medan pertempuran seperti di Midway, Gudalcanal, Birma dan lain sebagainya. Puncak dari pukulan telak terhadap Jepang ketika dijatuhkan bom atom di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Keadaan tersebut menyebabkan Jepang harus menandatangani penyerahan tanpa syarat dalam Deklarasi Postdam kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945.[2]



2.2.     Jepang Setelah Perang Dunia II
Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II bagaikan kiamat bagi negara tersebut yang mengakibatkan berbagai masalah besar bermunculan yang harus segera dibenahi. Jepang setelah periode tersebut tidak begitu terlihat seperti membuka kertas baru hanya saja mengalami perubahan arah. Raja yang sama pun tetap memerintah dan tetap menggunakan gelar kerajaan yang sama. Raja Showa (Hirohito). Dalam lingkup lebih luas, pengaruh-pengaruh dari luar Jepang seperti politik, ekonomi dan budaya lebih banyak berasal dari Amerika Serikat daripada Eropa yang menyumbangkan pada perkembangan suatu weltanschauung nasional yang berpusat kepda perdagangan baik di luar taupun dalam negeri.[3]
            Berakhirnya perang meninggalkan ekonomi Jepang dalam kehancuran. Pabrik-pabrik industri tidak bekerja, berjuta-juta orang menganggur karena dibebaskan tugas kemiliteran demobilisasi. Pertanian tidak dapat menghasilkan cukup untuk memberi makanan penduduk, meski ada pembagian jatah yang sangat ketat namun tetap saja ada penyelewengan terhadap makanan tersebut mengakibatkan banyak penduduk yang kelaparan.
Kebangkitan Jepang dari kehancuran dahsyat dalam Perang Dunia II bukan karena keajaiban, melainkan diperoleh melalui semangat juang yang tinggi, disiplin ketat, dan kerja keras yang dilandasi nilai-nilai luhur. Setelah periode tersebut Jepang berhasil bangkit. Untuk membangun kembali semangat bangsa Jepang terutama perekonomian, rakyatnya mencari peluang kerja baru untuk menghasilkan produk bermutu. Caranya, mereka mendatangkan para ahli dari Amerika Serikat dan hasilnya diolah kembali oleh ahli Jepang agar sesuai dengan aspek budaya mereka.
Kemudian diikuti dengan mengimpor beragam buku dari barat, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Seiring dengan dibangunnya institut penerjemahan, terjemahan buku-buku impor ke dalam bahasa Jepang, sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan. Kemudian, mengirim tim pengusaha Jepang ke Amerika dan belajar beragam disiplin ilmu. Setelah ilmu diserap, mereka meniru ciptaan Barat dan berusaha memperbaikinya sehingga menjadi barang yang lebih baik, bermutu tinggi dan sesuai dengan kehidupan masyarakat Asia. Budaya ulet dalam bekerja menjadi cirri khas mereka bahkan mereka merasa malu apabila pulang kerja lebih cepat.[4]
Pada tahun 1947, Jepang memberlakukan Konstitusi Jepang yang baru. Berdasarkan konstitusi baru, Jepang ditetapkan sebagai negara yang menganut paham pasifisme dan mengutamakan praktik demokrasi liberal. Pendudukan AS terhadap Jepang secara resmi berakhir pada tahun 1952 dengan ditandatanganinya Perjanjian San Francisco. Walaupun demikian, pasukan AS tetap mempertahankan pangkalan-pangkalan penting di Jepang, khususnya di Okinawa. Perserikatan Bangsa-Bangsa secara secara resmi menerima Jepang sebagai anggota pada tahun 1956.[5]
Pasca Perang Dunia II Jepang terjadi perubahan politik yang sangat signifikan, dengan munculnya beberapa partai politik. Penetrasi ideology melalui system perpolitikan dijadikan sebagai jalan masuk untuk menambil simpati rakyat yang trauma dengan system perpolitikan sebelumnya yang harus dibayar dengan jutaan nyawa yang harus mati di medan perang.
Beberapa partai politik bermunculan, diantaranya partai sosialis, demokratis dan liberal. Pada awal masuknya Jepang menjadi Negara industry di bagian politik terjadi kemajuan dalam kebijaksanaan partai politik. System politik tahun 1955 dan system politik 1960. Sebelum kedua system politik tersebut Yoshida Shigeru menggunakan kekuatan di bawah Amerika dan ikatan perjanjian San Fransisco. Namun kebijakan tersebut mendapat tantangan dari para oposisi yang mulai melakukan pergerakan untuk kembalinya ke politik internasional sehingga berimplikasi terbentuknya partai Demokrasi Jepang tahun 1954 yang dipimpin oleh Hatiyama Ichiro.
            Antara partai liberal dan demokrasi memiliki sedikit perbedaan, terutama permasalahan kebijaksanaan di bidang internasional,UUD keamanan Jepang Amerika. Sedangkan kesamaan dari kedua partai tersebut dapat terlihat dalam kebijakan pemerintah dan politik, yaitu :
1.      Secara ekonomi menjaga kebebasan
2.      Setelah perang berahir mempertahankan adat dan budaya serta kebiasaan para leluhur dengan menghargai nilai-nilai yang ada.
3.      Memegang teguh perjanjian antara Jepang dan Amerika untuk membangun kembali kekuatan militer.
            Namun pada ahirnya partai demokrasi dan liberal menjadi satu partai.
            Pemulihan ekonomi sudah berjalan cukup jauh sehingga memungkinkan industrinya memasok banyak peralatann selain dari senjata. Ekonomi dunia sedang berada di periode pertumbuhan yang cepat. Jepang yang memiliki pasar dalam negeri yang berkembang pesat, pemerintah yang siap mengucurkan modal dan penduduk yang memiliki kecenderungan menabung uang yang tinggi berada pada posisi untuk meraih manfaat dari perekonomian dunia tersebut. Pada tahun 1960 laju ekonomi Jepang mencapai 13,2 persen, laju pertumbuhan ini terus dipertahankan selama sepuluh tahun berikutnya selain itu juga bermunculuan beberapa partai politk.[6]
            Selain itu jepang juga mengusahakan bantuan melalui diplomasi luar negerinya untuk mendapat simpati ataupun dukungan dari Negara lain. Ozawa Ichiro menyatakan bahwa setelah Perang Dunia II Jepang Menetapkan Lima pokok garis besar politik Luar negerinya sebagai upaya menstabilkan hubungan internasional yang berlangsung antar Negara-negara di seluruh kawasan internasional, adapun lima pokok garis besar tersebut adalah;
1.        Mempertahankan kepentingan nasionalnya, yaitu menjadikan tujuan dasar dari politik luar negeri Jepang adalah untuk kepentingan negeri Jepang sendiri.
2.        Partisipasi global, artinya sebagai Negara maju Jepang memiliki tanggung jawab untuk ikut serta membangun kerjasama internasional yang tidak sebatas pada permasalahan ekonomi saja tetapi juga politik.
3.        Tujuan-tujuan diplomatic, yaitu menjadikan Jepang sebagai Negara yang kuat dan memiliki tujuan diplomasi yang mapan dengan cara mengembangkan kemampuan strategi untuk mencapainya.
4.        Aliansi Amerika Serikat-Jepang, yaitu Jepang harus kembali mempertahankan hubungannya dengan AS sebagai tonggak untuk mewujudkan keamanan dan kemampuan strategi untuk mencapainya.
5.        Kawasan Asia-Pasifik, yaitu Jepang harus mengakui arti penting kawasan Asia Pasifik. Dimana hal tersebut merupakan bentuk diplomasi “pilar kembar” Jepang sebagai anggota dalam komunitas Asia-Pasifik dan juga kelompok Negara-negara demokrasi maju.[7]

           
2.3  Keuntungan Dari Kebijakan Amerika Serikat
            Berakhirnya Perang Dunia II dan kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, telah merubah secara drastis wajah ekonomi industry Jepang. Meskipun telah hancur AS memiliki dendam yang mendalam sehingga yang diinginkan bukan kehancuran Jepang dalam bidang militer, politik dan ekonomi saja, tetapi lebih jauh juga menginginkan hancur leburnya pranata-pranta social, budaya dan agama serta tradisi-tradisi yang telah dianut selama ribuan tahun silam.
            Sebetulnya sekutu telah melakukan suatu tindakan dengan harapan dapat menghapus militerisme Jepang, bahkan lebih jauh militeris yang didukung oleh mesin perang produsi zaibatsu (konglomerasi Pra-PD II), fantisme agama Shintoo yang mengilhami kedaulatan Kaisar Jepang dan mitos kaisar sebagai penjelmaan Amaterasu Ohmikami, harus juga disapu bersih dari muka bumi Jepang. Termasuk juga apa yang dikenal dengan konsep patrilineal, primogenitural, ascentor worship phliosopy dan warm-hearted yang semuanya melekat di dalam struktur masyarakat Jepang dan yang berfungsi untuk mempertahankan keutuhan dan kelangsungan keluarga, harus direformasi. Untuk itu konstitusi Jepang yang diberlakukan pada tanggal 3 Mei 1947 serta yang “dipaksakan” oleh sekutu melalui The Supreme Commander of the Allied Power (SCAP) memuat hal-hal atau pasal-pasal yang telah mengantisipasi kemungkinan terulangnya kembali perang Asia Timur Raya dan yang pasti adalah membubarkan zaibatsu.
Bagi Jepang, Amerika Serikat berperan dalam menentukan kesuksesan yang kini mereka raih. Hal ini dikarenakan pada masa pendudukan Amerika Serikat, kontak dengan dunia Barat kian rapat dan teori-teori tentang kebudayaan Barat dan peradabannya dipelajari dengan pesatnya. Pendudukan Amerika Serikat dapat dipandang sebagai upaya kedua kalinya untuk menuangkan ide-ide dan perilaku Barat terhadap Jepang semenjak Restorasi Meiji.
Satu hal yang cukup ironi, orang-orang Jepang justru menyambut baik  kedatangan tentara-tentara Amerika Serikat. Orang Jepang yang kecewa dan patah semangat akibat Perang Dunia II yang semestinya menyambut tentara Amerika Serikat dengan kebencian dan penyesalan malah menganggap orang-orang Amerika Serikat sebagai pembimbing menuju yang lebih baik. Bangsa Jepang memanfaatkan kesempatan ini sebagai upaya mengejar ketertinggalannya. Dan hal tersebut terbukti setelah pendudukan Amerika Serikat berakhir.[8]
Sekutu memberlakukan pelucutan senjata, liberalisasi, unifikasi wilayah dan desentralisasi ekonomi di Jepang. Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat, menginginkan kemakmuran dan kekuatan ekonomi di Jepang saat itu tidak terkonsentrasi, tetapi harus lebih disebarluaskan (desentralisasi) dan dijadikan perusahaan publik dalam kerangka demokrasi.
Pada tahun 1946 pihak sekutu merubah kebijaksanaan yang sebelumnya bersifat non responsibility menjadi sikap mendorong perekonomian Jepang. Perubahan tersebut dapat terjadi karena Amerika Serikat yang pada dasarnya menentukan kebijaksanaan pendudukan sekutu di Jepang memiliki pandangan yang positif terhadap peranan Jepang di Asia pasca PD II. Dengan adanya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang merupakan perang pengaruh ideologi. Menyebabkan hubungan Amerika Serikat dengan Jepang semakin membaik, hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat memiliki suatu keinginan bahwa Jepang dapat menjadi negara yang mampu menjadi kekuatan pengimbang terhadap komunisme di Asia.
Pada tahun 1970-an Jepang memperoleh julukan yang tidak begitu mengenakan yaitu “Economic Animal” karena resesi yang cukup panjang serta kesalahan atas estiminasi dalam penentuan arah perkembangan di berbagai sektor industri, nampak sedang menyusun kembali kekuatan dengan menempuh pola baru dalam struktur organisasi perusahaannya yang tidak terlepas dari nilai-nilai kebudayaannya disebut dengan istilah “Economic Buble” sekitar tahun 1988-1992.
Apabila melihat dari perhitungan Barat tentulah sangat tidak mungkin dengan realitas jepang sesungguhnya yang dapat berkembang dengan pesat pada kurun waktu tersebut. Hal ini disebabkan karena para analis hanya menitikberakan kepada masalah ekonomi saja, yang berujung tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan, khususnya analis terhadap perkembangan industri dan perdagangan internasionalnya.
            SCAP dibawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, dengan sangat  cepat melakukan demiliterisasi dan bahkan mengupayakan terlaksananya demokratisasi di Jepang secepat mungkin, langkah berikutnya diciptakan langkah deklarasi tentang “Initial Post Surrender Policy For Japan” pada tanggal 29 Agustus 1945, yang intinya adalah kebijaksanaan untuk melakukan liquidasi dimulai pada bulan September 1945  dengn tujuan utamanya adalah melikuidasi “Holding Company” dari lima buah zaibatsu yaitu Mitsui Honsha, Mitshubisi Honsha, Sumitomo Honsha, Yasuda Hozensha dan Fuji Sangyoo. Giliran berikutnya lebih dari 30 Holding Company Liquidation Commission (HCLC) yang dibentuk oleh sekutu. Kemudian lebih drastis lagi adalah kekayaan darri sekitar 50 orang yang terlibat keluarga zaibatsu dibekukan bahkan harus menyerahkan saham-sahamnya kepada HCLC. Baru pada tanggal 3 Mei 1947 dibubarkan zaibatsu.
            Meskipun konstitusi baru Jepang telah dibentuk ternyata langkah yang telah dilakukan oleh MacArthur ini tidak berhasil karena terjadinya reinkarnasi raksasa zaibatsu menjadi raksasa yang termodifikasi yaitu Keiratsu. Tepat sekali kiranya sebuah buku yang ditulis oleh Jhon Gunter pada tahun 1974 dengan judul “The Riddle of MacActhur”.
            Pertumbuhan keiretsu yang begitu cepat serta mengagumkan bukanlah karen faktor-faktor internal Jepang semata. Namun lebih disebabkan kesalahan-kesalahan kebijakan sekutu yang diuat dan dilaksanakan SCAP yaitu:
            Pertama, konstitusi baru Jepang yang dipaksakan oleh sekutu bukanlah merupakan jaminan mutlak untuk memperoleh ketaatan dari setiap orang Jepang karena hal ini memuat perubahan-perubahan dalam hal-hal yang menyangkut atau bersifat mitos dan kebudayaan Jepang yang telah dianut selama ribuan tahun.
            Kedua, konstitusi baru yang melarang pembangunan kekuatan militernya yang khususnya bertujuan untuk mencegah timbulnya militerisme Jepang yang belikostik, justru konsekuensinya, AS terpaksa harus melindungi Jepang dengan kebijaksanaan payung nuklir untuk menghadapi kemungkinan bahaya komunis, sehingga dapat menghemat anggaran Jepang kemudian dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan industry.
            Ketiga, SCAP di dalam kebijakannya tidak pernah menghancurkan atau bahkan meelikuidasi seluruh lembaga keuangan bank yang tergabung dalam zaibatsu. Padahal sekutu terutama AS telah mengembargo peminjaman uang kepada Jepang, namun AS lupa bahwa dengan kebijaksanaan tersebut berarti membiarkan para manajer professional dan para karyawan lingkungan bank tetap utuh dan masih berfungsi.
            Keempat, krisis di Semenanjung Korea antara tahun 1951-1953 yang akhirnya berkembang menjadi perang terbuka antara Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang kapitalis, memaksa AS atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut campur tangan terjun ke medan perang Korea dengan mengerahkan kekuatan militernya baik dari angkatan darat, laut maupun udaranya secara besar-besaran dimana harus membutuhkan logistik yang besar akhirnya AS terpaksa menggunakan jasa baik Jepang karena jepang dianggap pantas menerima tugas pengadaan dan memasok logistik tersebut.
            Akibatnya, akumulasi kesalahan-kesalahan kebijakan AS inilah yang justru mempunyai andil besar dalam mempercepat proses reinkarnasi dari raksasa zaibatsu dan muncul raksasa baru yang dikenal dengan keiretsu serta memiliki pola dasar, struktur dan mekanisme kerja yang mirip meskipun tidak serupa.
Setelah sekutu mengakhiri pendudukannya di Jepang, hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang masih terjalin dengan baik. Hubungan yang terjalin dengan baik tersebut dibuktikan dengan adanya sistem Bretton Woods. Salah satu bagian dari sistem baru tersebut adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang dibentuk berdasarkan anggapan bahwa perdagangan bebas adalah sarana terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagi Jepang yang pembangunan ekonominya sangat tergantung pada perdagangan luar negeri, sistem ekonomi baru tersebut sangat bermanfaat dan berharga. Sistem tersebut tidak hanya memungkinkan Jepang meningkatkan volume perdagangan dan memperoleh manfaat yang lebih besar, tetapi juga meningkatkan efisiensi dengan ditempatkanya perusahaan-perusahaan Jepang ke dalam ajang persaingan Internasional dan memperluas pasar. Tetapi perusahaan yang berorientasi dalam negeri pun harus mengalami persaingan dengan adanya sistem tersebut, karena terjadinya liberalisasi impor dan pengurangan tarif impor. Namun Jepang dapat bersaing dalam hal tersebut dimana ekspor semakin dapat ditingkatkan dan impor dapat ditanggulangi dengan baik. Hal tersebut karena Jepang didukukng oleh SDM dan hasil produksi yang sangat berkualitas dan dapat bersaing dengan negara lain.[9]







KESIMPULAN

            Depresi di Amerika menarik dunia ke dalam keadaan “chaos”. Produk industry di Negara-negara kapitalis anjlok. Harga-harga bahan makanan dan bahan-bahan mentah industry jatuh tidak terkendali. Kondisi ini menghantam Negara-negara jajahan, terutama Negara-negara yang mengandalkan hasil pertanian. Jepangpun tidak luput dari pengaruh depresi dunia. Banyak penrusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik bangkrut sehingga kota-kota dipenuhi pengangguran. Barang-barang manufaktur tidak terjual di pasar domestic, sehingga terpaksa dilemparkan ke luar negeri dengan harga yang murah.
Kekalah Jepang pada Perang Dunia II bagaikan kiamat bagi negara tersebut yang mengakibatkan berbagai masalah besar bermunculan yang harus segera dibenahi. Jepang setelah periode tersebut tidak begitu terlihat seperti membuka kertas baru hanya saja mengalami perubahan arah.      
Berakhirnya perang meninggalkan ekonomi Jepang dalam kehancuran. Pabrik-pabrik industri tidak bekerja, berjuta-juta orang menganggur karena dibebaskan tugas kemiliteran demobilisasi. Pertanian tidak dapat menghasilkan cukup untuk memberi makanan penduduk, meski ada pembagian jatah yang sangat ketat namun tetap saja ada penyelewengan terhadap makanan tersebut mengakibatkan banyak penduduk yang kelaparan.
            Sekutu memberlakukan pelucutan senjata, liberalisasi, unifikasi wilayah dan desentralisasi ekonomi di Jepang. Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat, menginginkan kemakmuran dan kekuatan ekonomi di Jepang saat itu tidak terkonsentrasi, tetapi harus lebih disebarluaskan (desentralisasi) dan dijadikan perusahaan publik dalam kerangka demokrasi.
            Kemudian dibentuklah konstitusi baru yang memerintah di Jepang meskipun konstitusi baru Jepang telah dibentuk ternyata langkah yang telah dilakukan oleh MacArthur ini tidak berhasil karena terjadinya reinkarnasi raksasa zaibatsu menjadi raksasa yang termodifikasi yaitu Keiratsu. Tepat sekali kiranya sebuah buku yang ditulis oleh Jhon Gunter pada tahun 1974 dengan judul “The Riddle of MacActhur”.
            Pertumbuhan keiretsu yang begitu cepat serta mengagumkan bukanlah karen faktor-faktor internal Jepang semata. Namun lebih disebabkan kesalahan-kesalan kebijakan sekutu yang diuat dan dilaksanakan SCAP yaitu:
1.      Konstitusi baru Jepang yang dipaksakan
2.      konstitusi baru yang melarang pembangunan kekuatan militer    
3.      SCAP di dalam kebijakannya tidak pernah menghancurkan atau bahkan meelikuidasi seluruh lembaga keuangan bank yang tergabung dalam zaibatsu.
4.      Krisis di Semenanjung Korea antara tahun 1951-1953 yang akhirnya berkembang menjadi perang terbuka antara Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang kapitalis, memaksa AS atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut campur tangan terjun ke medan perang Korea dengan mengerahkan kekuatan militernya baik dari angkatan darat, laut maupun udaranya secara besar-besara.
Akibatnya, akumulasi kesalahan-kesalahan kebijakan AS inilah yang justru mempunyai andil besar dalam mempercepat proses reinkarnasi dari raksasa zaibatsu dan muncul raksasa baru yang dikenal dengan keiretsu serta memiliki pola dasar, struktur dan mekanisme kerja yang mirip meskipun tidak serupa.
Setelah sekutu mengakhiri pendudukannya di Jepang, hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang masih terjalin dengan baik. Hubungan yang terjalin dengan baik tersebut dibuktikan dengan adanya sistem Bretton Woods. Salah satu bagian dari sistem baru tersebut adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang dibentuk berdasarkan anggapan bahwa perdagangan bebas adalah sarana terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagi Jepang yang pembangunan ekonominya sangat tergantung pada perdagangan luar negeri, sistem ekonomi baru tersebut sangat bermanfaat dan berharga. Sistem tersebut tidak hanya memungkinkan Jepang meningkatkan volume perdagangan dan memperoleh manfaat yang lebih besar, tetapi juga meningkatkan efisiensi dengan ditempatkanya perusahaan-perusahaan Jepang ke dalam ajang persaingan Internasional dan memperluas pasar.
           



DAFTAR PUSTAKA

W.G. Beasley. Pengalaman Jepang: Sejarah Singkat Jepang. penerjemah Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2003.
Kebangkitan Dan Kemakmuran Jepang. Bekerja Keras Berlandaskan Nilai-Nilai Luhur diunduh dari http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?option=com content&view=article&id=59:kebangkitan-dan-kemakmuran-jepangbekerja-keras-berlandaskan-nilai-nilai-luhur&catid=3 3&Itemid=138  pada tanggal 25 Desember 2012.
Kebangkitan Jepang-Sejarah Negara Jepang diunduh dari http://www.woamu. mangaku.net 2012/02/kebangkitan-jepang-sejarah-negara.html pada tanggal 20 Desember 2012.
Rina Sukmara dan Yusy Widarahesty, Perkembangan Diplomasi LUar Negeri Jepang Di ASEAN Pasca Perang Dunia II (Studi Tentang Sejarah Diplomasi Jepang Dari 1970-1997), (Jakarta: Prosiding Bidang Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora, 2011), hlm. 283.
Jepang Pasca Perang Dunia II, Universitas Sumatra Utara, hlm. 19.
Arif Nugraha, Pembangunan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II, diunduh dari http://sukmazaman.blogspot.com/2012/01/pembangunan-ekonomi jepangpasca-perang.html pada tanggal 20 Desember 2012.




[1] W.G. Beasley, Pengalaman Jepang: Sejarah Singkat Jepang, penerjemah Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. Xxx.
[2] Ibid, hlm. 34.
[3]  W.G. Beasley, Op Cit, hlm. 325.
[4]  Kebangkitan Dan Kemakmuran Jepang. Bekerja Keras Berlandaskan Nilai-Nilai Luhur  diunduh dari http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?option=comcontent&view =article&id=59:kebangkitan-dan-kemakmuran-jepang-bekerja-keras-berlandaskan-nilai-nilai-luhu r&catid=33&Itemid=138 pada tanggal 25 Desember 2012.
[5] Kebangkitan Jepang-Sejarah Negara Jepang diunduh dari http://www.woamu. mangaku.net 2012/02/kebangkitan-jepang-sejarah-negara.html pada tanggal 20 Desember 2012.
[6]W.G. Beasley, Op Cit.  hlm. 334-335.
[7] Rina Sukmara dan Yusy Widarahesty, Perkembangan Diplomasi LUar Negeri Jepang Di ASEAN Pasca Perang Dunia II (Studi Tentang Sejarah Diplomasi Jepang Dari 1970-1997), (Jakarta: Prosiding Bidang Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora, 2011), hlm. 283.
[8] Jepang Pasca Perang Dunia II, Universitas Sumatra Utara, hlm. 19.
[9]Arif Nugraha, Pembangunan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II, diunduh dari http://sukmazaman.blogspot.com/2012/01/pembangunan-ekonomi-jepang-pasca-perang.html pada tanggal 20 Desember 2012.