BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar belakang
Depresi
yang terjadi di Amerika tahun 1930-an yang memberikan efek domino kepada
Negara-negara dunia yang menimbulkan keadaan chaos dan mengakibatkan krisis
ekonomi. Jepangpun tidak luput dari
krisis tersebut. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik bangkrut
sehingga kota-kota dipenuhi pengangguran. Ekonomi Jepang yang tidak dapt
dipulihkan kembali semenjak ditetapkannya Manchuria sebagai “garis hidup
Jepang” yang juga merupakan awal dari gerakan militerisme dan melakukan kudeta
terhadap perdana Menteri mereka sehingga pemerintahan Jepang dikuasai oleh
militer kemudian berimplikasi keikutsertaannya dalam Perang Dunia II.
Perang
Dunia II adalah
konflik militer global yang terjadi pada 1 September
1939 sampai 2 September 1945 yang melibatkan sebagian besar negara di dunia, termasuk
semua kekuatan-kekuatan besar yang dibagi
menjadi
dua aliansi militer yang berlawanan: Sekutu
(Amerika, Inggris, Perancis dan lainnya), Sentral (Jepang, Jerman, dan Italia)
dan Komunis (Uni Soviet).
Perang ini merupakan perang terbesar
sepanjang sejarah. Dalam keadaan "perang total," pihak yang terlibat mengerahkan
seluruh bidang ekonomi, industri, dan kemampuan ilmiah untuk melayani usaha perang,
menghapus perbedaan antara sipil dan sumber-sumber militer. Lebih dari tujuh puluh juta
orang, mayoritas warga sipil, tewas. Hal ini menjadikan Perang Dunia II sebagai konflik paling
mematikan dalam sejarah manusia. Perang
Dunia II berkecamuk di tiga benua tua; yaitu Afrika, Asia dan Eropa.
Jepang merupakan salah satu peserta Perang Dunia II
menjadi pihak yang menagalami kekalahan. Akibat dari kekalahan tersebut
menimbulkan suatu gejala konflik yang terjadi di intern Negara, perekonomian Jepang semakin
memburuk akibat banyak perusahaan dan pabrik yang bangkrut karena perasaan
takut dari para investor yang melihat kondisi politik yang chaos
sehingga kota-kota dipenuhi oleh pengangguran dan mengakibatkan
banyak penduduk yang kelaparan.
Amerika yang masih sakit hati akibat
serangan Pearl
Harbour sehingga
tersimpan niat untuk menghancurkan Jepang hingga kehidupan sosialnya. Namun
jauh dari perkiraan segala bentuk kebijakan Jepang yang seharusnya dapat
meluluhlantahkan Jepang malah mengambil keuntungan dari hal tersebut, karena
Amerika lebih memfokuskan kepada perang non-fisik dengan Uni Soviet.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaiamana kondisi ekonomi
Jepang sebelum Perang Dunia II?
2.
Bagaimana kondisi
ekonomi Jepang pasca Perang Dunia II?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui kondisi
ekonomi Jepang pasca Perang Dunia II
2.
Umntuka mengetahui
kondisi ekonomi Jepang pasca Perang Dunia II
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Jepang
Menuju Perang Dunia II
Depresi di Amerika menarik dunia ke
dalam keadaan “chaos”. Produk industry di Negara-negara kapitalis anjlok.
Harga-harga bahan makanan dan bahan-bahan mentah industry jatuh tidak
terkendali. Kondisi ini menghantam Negara-negara jajahan, terutama
Negara-negara yang mengandalkan hasil pertanian. Uni Soviet adalah salah satu
Negara yang paling merasakan depresi tersebut.
Jepangpun tidak luput dari pengaruh
depresi dunia. Banyak penrusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik bangkrut
sehingga kota-kota dipenuhi pengangguran. Barang-barang manufaktur tidak
terjual di pasar domestic, sehingga terpaksa dilemparkan ke luar negeri dengan
harga yang murah. Harga sutra mentah dan
beras, yang merupakan andalan ekonomi Jepang sejak zaman Meiji, jatuh secara
drastis, yang mengakibatkan depresi semakin mencekam. Dalam kondisi ini, kerap
terjadi pemogokan buruh di kota-kota dan perlawanan petani di desa-desa.
Kondisi ini memberi lahan subur bagi berkenbangnya ideologi sosialis.[1]
Ekonomi Jepang yang juga tak
terelakkan dari pengaruh depresi dunia dapat dipulihkan kembali sejak
ditetapkannya Manchuria sebagai “garis hidup
Jepang” yang juga merupakan awal dari gerakan militerisme. Frustasi militer
terhadap partai politik yang tidak sanggup menyelesaikan krisis ekonomi
mendorong para perwira menengah Angkatan Laut membunuh Perdana Menteri Inukai
tsuyoshi. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Go Ichi Go Jiken
(peristiwa 15 Mei 1932). Setelah peristiwa ini, partai politik yang telah
berkuasa kembali selama delapan tahun sejak 1924 didepak dari kekuasaan dan
sejak itu jabatan perdana menteri dipegang oleh birokrat dan panglima-panglima
militer.
Pemerintah militer Jepang percaya
bahwa Jepang tidak akan mampu mengalahkan Cina, karena Amerika dan Inggris
mengirimkan bantuan ke Cina melalui Asia Tenggara. Dalam kondisi ini Jepang
berencana memutuskan hubungan Inggris dan Amerika dengan cara menduduki
Negara-negara Asia Tenggara. Jepang yang meniru Jerman dalam mengeksploitasi
bahan baku Negara-negara lain merancang
kebijakan ke selatan dalam upaya memperoleh bahan baku di kawasan Asia Tenggara.
Ketika Hideki Tojo menjadi
perdana menteri negosiasi dengan Amerika tetap dilakukan sambil menyiapkan perang
dengannya. Puncak dari rencana ini adalah penyerangan Pearl Harbour secara
tiba-tiba pada tanggal 8 Desember 1941. Hal tersebut merupakan titik awal
terjadinya Perang Pasifik dengan hasil tidak menguntungkan bagi pihak Jepang
dengan kekalahan di berbagai medan pertempuran seperti di Midway, Gudalcanal,
Birma dan lain sebagainya. Puncak dari pukulan telak terhadap Jepang ketika
dijatuhkan bom atom di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada
tanggal 9 Agustus 1945. Keadaan tersebut menyebabkan Jepang harus
menandatangani penyerahan tanpa syarat dalam Deklarasi Postdam kepada Sekutu
pada tanggal 14 Agustus 1945.[2]
2.2.
Jepang
Setelah Perang Dunia II
Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II bagaikan kiamat bagi negara
tersebut yang mengakibatkan berbagai masalah besar bermunculan yang harus
segera dibenahi. Jepang setelah periode tersebut tidak begitu terlihat seperti
membuka kertas baru hanya saja mengalami perubahan arah. Raja yang sama pun
tetap memerintah dan tetap menggunakan gelar kerajaan yang sama. Raja Showa
(Hirohito). Dalam lingkup lebih luas, pengaruh-pengaruh dari luar Jepang
seperti politik, ekonomi dan budaya lebih banyak berasal dari Amerika Serikat
daripada Eropa yang menyumbangkan pada perkembangan suatu weltanschauung nasional
yang berpusat kepda perdagangan baik di luar taupun dalam negeri.[3]
Berakhirnya perang meninggalkan ekonomi Jepang dalam
kehancuran. Pabrik-pabrik industri tidak bekerja, berjuta-juta orang menganggur
karena dibebaskan tugas kemiliteran demobilisasi. Pertanian tidak dapat
menghasilkan cukup untuk memberi makanan penduduk, meski ada pembagian jatah
yang sangat ketat namun tetap saja ada penyelewengan terhadap makanan tersebut
mengakibatkan banyak penduduk yang kelaparan.
Kebangkitan
Jepang dari kehancuran dahsyat dalam Perang Dunia II bukan karena keajaiban,
melainkan diperoleh melalui semangat juang yang tinggi, disiplin ketat, dan
kerja keras yang dilandasi nilai-nilai luhur. Setelah periode tersebut Jepang berhasil bangkit. Untuk membangun kembali semangat
bangsa Jepang terutama perekonomian, rakyatnya mencari peluang kerja baru untuk
menghasilkan produk bermutu. Caranya, mereka mendatangkan para ahli dari
Amerika Serikat dan hasilnya diolah kembali oleh ahli Jepang agar sesuai dengan
aspek budaya mereka.
Kemudian diikuti dengan mengimpor beragam buku dari barat, kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Jepang. Seiring dengan dibangunnya institut penerjemahan,
terjemahan buku-buku impor ke dalam bahasa Jepang, sudah tersedia dalam
beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan. Kemudian, mengirim tim
pengusaha Jepang ke Amerika dan belajar beragam disiplin ilmu. Setelah ilmu
diserap, mereka meniru ciptaan Barat dan berusaha memperbaikinya sehingga
menjadi barang yang lebih baik, bermutu tinggi dan sesuai dengan kehidupan
masyarakat Asia. Budaya
ulet dalam bekerja menjadi cirri khas mereka bahkan mereka merasa malu apabila
pulang kerja lebih cepat.[4]
Pada
tahun 1947, Jepang memberlakukan Konstitusi Jepang yang baru. Berdasarkan
konstitusi baru, Jepang ditetapkan sebagai negara yang menganut paham pasifisme
dan mengutamakan praktik demokrasi liberal. Pendudukan AS terhadap Jepang
secara resmi berakhir pada tahun 1952 dengan ditandatanganinya Perjanjian San
Francisco. Walaupun demikian, pasukan AS tetap mempertahankan pangkalan-pangkalan penting di Jepang, khususnya di Okinawa.
Perserikatan Bangsa-Bangsa secara secara resmi menerima Jepang sebagai anggota
pada tahun 1956.[5]
Pasca Perang Dunia II Jepang terjadi perubahan politik
yang sangat signifikan, dengan munculnya beberapa partai politik. Penetrasi
ideology melalui system perpolitikan dijadikan sebagai jalan masuk untuk
menambil simpati rakyat yang trauma dengan system perpolitikan sebelumnya yang
harus dibayar dengan jutaan nyawa yang harus mati di medan perang.
Beberapa partai politik bermunculan, diantaranya
partai sosialis, demokratis dan liberal. Pada awal masuknya Jepang menjadi
Negara industry di bagian politik terjadi kemajuan dalam kebijaksanaan partai
politik. System politik tahun 1955 dan system politik 1960. Sebelum kedua
system politik tersebut Yoshida Shigeru menggunakan kekuatan di bawah Amerika
dan ikatan perjanjian San Fransisco. Namun kebijakan tersebut mendapat
tantangan dari para oposisi yang mulai melakukan pergerakan untuk kembalinya ke
politik internasional sehingga berimplikasi terbentuknya partai Demokrasi
Jepang tahun 1954 yang dipimpin oleh Hatiyama Ichiro.
Antara partai liberal dan demokrasi
memiliki sedikit perbedaan, terutama permasalahan kebijaksanaan di bidang
internasional,UUD keamanan Jepang Amerika. Sedangkan kesamaan dari kedua partai
tersebut dapat terlihat dalam kebijakan pemerintah dan politik, yaitu :
1.
Secara
ekonomi menjaga kebebasan
2.
Setelah
perang berahir mempertahankan adat dan budaya serta kebiasaan para leluhur
dengan menghargai nilai-nilai yang ada.
3.
Memegang
teguh perjanjian antara Jepang dan Amerika untuk membangun kembali kekuatan
militer.
Namun pada ahirnya partai demokrasi
dan liberal menjadi satu partai.
Pemulihan ekonomi sudah berjalan cukup jauh sehingga
memungkinkan industrinya memasok banyak peralatann selain dari senjata. Ekonomi
dunia sedang berada di periode pertumbuhan yang cepat. Jepang yang memiliki
pasar dalam negeri yang berkembang pesat, pemerintah yang siap mengucurkan
modal dan penduduk yang memiliki kecenderungan menabung uang yang tinggi berada
pada posisi untuk meraih manfaat dari perekonomian dunia tersebut. Pada tahun
1960 laju ekonomi Jepang mencapai 13,2 persen, laju pertumbuhan ini terus
dipertahankan selama sepuluh tahun berikutnya selain itu juga bermunculuan
beberapa partai politk.[6]
Selain
itu jepang juga mengusahakan bantuan melalui diplomasi luar negerinya untuk
mendapat simpati ataupun dukungan dari Negara lain. Ozawa Ichiro menyatakan
bahwa setelah Perang Dunia II Jepang Menetapkan Lima pokok garis besar politik
Luar negerinya sebagai upaya menstabilkan hubungan internasional yang
berlangsung antar Negara-negara di seluruh kawasan internasional, adapun lima
pokok garis besar tersebut adalah;
1.
Mempertahankan
kepentingan nasionalnya, yaitu menjadikan tujuan dasar dari politik luar negeri
Jepang adalah untuk kepentingan negeri Jepang sendiri.
2.
Partisipasi
global, artinya sebagai Negara maju Jepang memiliki tanggung jawab untuk ikut
serta membangun kerjasama internasional yang tidak sebatas pada permasalahan
ekonomi saja tetapi juga politik.
3.
Tujuan-tujuan
diplomatic, yaitu menjadikan Jepang sebagai Negara yang kuat dan memiliki
tujuan diplomasi yang mapan dengan cara mengembangkan kemampuan strategi untuk
mencapainya.
4.
Aliansi
Amerika Serikat-Jepang, yaitu Jepang harus kembali mempertahankan hubungannya
dengan AS sebagai tonggak untuk mewujudkan keamanan dan kemampuan strategi
untuk mencapainya.
5.
Kawasan
Asia-Pasifik, yaitu Jepang harus mengakui arti penting kawasan Asia Pasifik.
Dimana hal tersebut merupakan bentuk diplomasi “pilar kembar” Jepang sebagai
anggota dalam komunitas Asia-Pasifik dan juga kelompok Negara-negara demokrasi
maju.[7]
2.3 Keuntungan
Dari Kebijakan Amerika Serikat
Berakhirnya
Perang Dunia II dan kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, telah merubah secara
drastis wajah ekonomi industry Jepang. Meskipun telah hancur AS memiliki dendam yang mendalam sehingga
yang diinginkan bukan kehancuran Jepang dalam bidang militer, politik dan
ekonomi saja, tetapi lebih jauh juga menginginkan hancur leburnya
pranata-pranta social, budaya dan agama serta tradisi-tradisi yang telah dianut
selama ribuan tahun silam.
Sebetulnya sekutu telah melakukan suatu
tindakan dengan harapan dapat menghapus militerisme Jepang, bahkan lebih jauh
militeris yang didukung oleh mesin perang produsi zaibatsu (konglomerasi
Pra-PD II), fantisme agama Shintoo yang mengilhami kedaulatan Kaisar Jepang dan
mitos kaisar sebagai penjelmaan Amaterasu Ohmikami, harus juga disapu
bersih dari muka bumi Jepang. Termasuk juga apa yang dikenal dengan konsep patrilineal,
primogenitural, ascentor worship phliosopy dan warm-hearted yang
semuanya melekat di dalam struktur masyarakat Jepang dan yang berfungsi untuk
mempertahankan keutuhan dan kelangsungan keluarga, harus direformasi. Untuk itu
konstitusi Jepang yang diberlakukan pada tanggal 3 Mei 1947 serta yang
“dipaksakan” oleh sekutu melalui The Supreme Commander of the Allied Power (SCAP)
memuat hal-hal atau pasal-pasal yang telah mengantisipasi kemungkinan
terulangnya kembali perang Asia Timur Raya dan yang pasti adalah membubarkan zaibatsu.
Bagi Jepang, Amerika Serikat
berperan dalam menentukan kesuksesan yang
kini
mereka raih. Hal ini dikarenakan pada masa pendudukan Amerika Serikat, kontak
dengan dunia Barat kian rapat dan teori-teori tentang kebudayaan Barat dan
peradabannya dipelajari dengan pesatnya. Pendudukan Amerika Serikat dapat
dipandang sebagai upaya kedua kalinya untuk menuangkan ide-ide dan perilaku
Barat terhadap Jepang semenjak Restorasi Meiji.
Satu hal yang cukup ironi, orang-orang
Jepang justru menyambut baik kedatangan tentara-tentara
Amerika Serikat. Orang Jepang yang kecewa dan patah semangat akibat Perang Dunia II yang
semestinya menyambut tentara Amerika Serikat dengan kebencian dan penyesalan
malah menganggap orang-orang Amerika Serikat
sebagai pembimbing menuju yang lebih baik. Bangsa Jepang memanfaatkan
kesempatan ini sebagai upaya mengejar ketertinggalannya. Dan hal tersebut
terbukti setelah pendudukan Amerika Serikat berakhir.[8]
Sekutu memberlakukan pelucutan
senjata, liberalisasi, unifikasi wilayah dan desentralisasi ekonomi di Jepang.
Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat, menginginkan kemakmuran dan kekuatan
ekonomi di Jepang saat itu tidak terkonsentrasi, tetapi harus lebih
disebarluaskan (desentralisasi) dan dijadikan perusahaan publik dalam kerangka
demokrasi.
Pada tahun 1946 pihak sekutu
merubah kebijaksanaan yang sebelumnya bersifat non responsibility menjadi sikap
mendorong perekonomian Jepang. Perubahan tersebut dapat terjadi karena Amerika
Serikat yang pada dasarnya menentukan kebijaksanaan pendudukan sekutu di Jepang
memiliki pandangan yang positif terhadap peranan Jepang di Asia pasca PD II.
Dengan adanya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang
merupakan perang pengaruh ideologi. Menyebabkan hubungan Amerika Serikat dengan
Jepang semakin membaik, hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat memiliki suatu
keinginan bahwa Jepang dapat menjadi negara yang mampu menjadi kekuatan
pengimbang terhadap komunisme di Asia.
Pada tahun 1970-an Jepang
memperoleh julukan yang tidak
begitu mengenakan yaitu “Economic Animal” karena resesi yang
cukup panjang serta kesalahan atas estiminasi
dalam penentuan arah perkembangan di berbagai sektor industri, nampak sedang
menyusun kembali kekuatan dengan menempuh pola baru dalam struktur organisasi
perusahaannya yang tidak terlepas dari nilai-nilai kebudayaannya disebut dengan
istilah “Economic Buble” sekitar tahun 1988-1992.
Apabila melihat dari
perhitungan Barat tentulah sangat tidak mungkin dengan realitas jepang sesungguhnya yang
dapat berkembang dengan pesat pada kurun waktu tersebut. Hal ini disebabkan
karena para analis hanya menitikberakan kepada masalah ekonomi saja, yang
berujung tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan, khususnya analis
terhadap perkembangan industri dan perdagangan internasionalnya.
SCAP dibawah pimpinan Jenderal Douglas
MacArthur, dengan sangat cepat melakukan
demiliterisasi dan bahkan mengupayakan terlaksananya demokratisasi di Jepang
secepat mungkin, langkah berikutnya diciptakan langkah deklarasi tentang “Initial
Post Surrender Policy For Japan” pada tanggal 29 Agustus 1945, yang intinya
adalah kebijaksanaan untuk melakukan liquidasi dimulai pada bulan September
1945 dengn tujuan utamanya adalah
melikuidasi “Holding Company” dari lima buah zaibatsu yaitu
Mitsui Honsha, Mitshubisi Honsha, Sumitomo Honsha, Yasuda Hozensha dan Fuji
Sangyoo. Giliran berikutnya lebih dari 30 Holding Company Liquidation
Commission (HCLC) yang dibentuk oleh sekutu. Kemudian lebih drastis lagi
adalah kekayaan darri sekitar 50 orang yang terlibat keluarga zaibatsu dibekukan
bahkan harus menyerahkan saham-sahamnya kepada HCLC. Baru pada tanggal 3 Mei
1947 dibubarkan zaibatsu.
Meskipun
konstitusi baru Jepang telah dibentuk ternyata langkah yang telah dilakukan
oleh MacArthur ini tidak berhasil karena terjadinya reinkarnasi raksasa zaibatsu
menjadi raksasa yang termodifikasi yaitu Keiratsu. Tepat sekali
kiranya sebuah buku yang ditulis oleh Jhon Gunter pada tahun 1974 dengan judul
“The Riddle of MacActhur”.
Pertumbuhan
keiretsu yang begitu cepat serta mengagumkan bukanlah karen
faktor-faktor internal Jepang semata. Namun lebih disebabkan kesalahan-kesalahan kebijakan sekutu yang diuat
dan dilaksanakan SCAP yaitu:
Pertama,
konstitusi baru Jepang yang dipaksakan oleh sekutu bukanlah merupakan jaminan
mutlak untuk memperoleh ketaatan dari setiap orang Jepang karena hal ini memuat
perubahan-perubahan dalam hal-hal yang menyangkut atau bersifat mitos dan
kebudayaan Jepang yang telah dianut selama ribuan tahun.
Kedua,
konstitusi baru yang melarang pembangunan kekuatan militernya yang khususnya
bertujuan untuk mencegah timbulnya militerisme Jepang yang belikostik,
justru konsekuensinya, AS terpaksa harus melindungi Jepang dengan kebijaksanaan
payung nuklir untuk menghadapi kemungkinan bahaya komunis, sehingga dapat
menghemat anggaran Jepang kemudian dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
industry.
Ketiga,
SCAP di dalam kebijakannya tidak pernah menghancurkan atau bahkan meelikuidasi
seluruh lembaga keuangan bank yang tergabung dalam zaibatsu. Padahal
sekutu terutama AS telah mengembargo peminjaman uang kepada Jepang, namun AS lupa bahwa dengan
kebijaksanaan tersebut berarti membiarkan para manajer professional dan para
karyawan lingkungan bank tetap utuh dan masih berfungsi.
Keempat,
krisis di Semenanjung Korea antara tahun 1951-1953 yang akhirnya berkembang
menjadi perang terbuka antara Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang
kapitalis, memaksa AS atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut campur
tangan terjun ke medan perang Korea dengan mengerahkan kekuatan militernya baik
dari angkatan darat, laut maupun udaranya secara besar-besaran dimana harus
membutuhkan logistik yang besar akhirnya AS terpaksa menggunakan jasa baik
Jepang karena jepang dianggap pantas menerima tugas pengadaan dan memasok
logistik tersebut.
Akibatnya,
akumulasi kesalahan-kesalahan kebijakan AS inilah yang justru mempunyai andil
besar dalam mempercepat proses reinkarnasi dari raksasa zaibatsu dan
muncul raksasa baru yang dikenal dengan keiretsu serta memiliki pola
dasar, struktur dan mekanisme kerja yang mirip meskipun tidak serupa.
Setelah sekutu mengakhiri
pendudukannya di Jepang, hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang masih
terjalin dengan baik. Hubungan yang terjalin dengan baik tersebut dibuktikan
dengan adanya sistem Bretton Woods. Salah satu bagian dari sistem baru tersebut
adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang dibentuk berdasarkan
anggapan bahwa perdagangan bebas adalah sarana terbaik untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Bagi Jepang yang pembangunan ekonominya sangat tergantung
pada perdagangan luar negeri, sistem ekonomi baru tersebut sangat bermanfaat
dan berharga. Sistem tersebut tidak hanya memungkinkan Jepang meningkatkan
volume perdagangan dan memperoleh manfaat yang lebih besar, tetapi juga
meningkatkan efisiensi dengan ditempatkanya perusahaan-perusahaan Jepang ke
dalam ajang persaingan Internasional dan memperluas pasar. Tetapi perusahaan
yang berorientasi dalam negeri pun harus mengalami persaingan dengan adanya
sistem tersebut, karena terjadinya liberalisasi impor dan pengurangan tarif
impor. Namun Jepang dapat bersaing dalam hal tersebut dimana ekspor semakin
dapat ditingkatkan dan impor dapat ditanggulangi dengan baik. Hal tersebut karena
Jepang didukukng oleh SDM dan hasil produksi yang sangat berkualitas dan dapat
bersaing dengan negara lain.[9]
KESIMPULAN
Depresi
di Amerika menarik dunia ke dalam keadaan “chaos”. Produk industry di
Negara-negara kapitalis anjlok. Harga-harga bahan makanan dan bahan-bahan
mentah industry jatuh tidak terkendali. Kondisi ini menghantam Negara-negara
jajahan, terutama Negara-negara yang mengandalkan hasil pertanian. Jepangpun
tidak luput dari pengaruh depresi dunia. Banyak penrusahaan-perusahaan dan
pabrik-pabrik bangkrut sehingga kota-kota dipenuhi pengangguran. Barang-barang
manufaktur tidak terjual di pasar domestic, sehingga terpaksa dilemparkan ke
luar negeri dengan harga yang murah.
Kekalah
Jepang pada Perang Dunia II bagaikan kiamat bagi negara tersebut yang
mengakibatkan berbagai masalah besar bermunculan yang harus segera dibenahi.
Jepang setelah periode tersebut tidak begitu terlihat seperti membuka kertas
baru hanya saja mengalami perubahan arah.
Berakhirnya perang meninggalkan ekonomi
Jepang dalam kehancuran. Pabrik-pabrik industri tidak bekerja, berjuta-juta
orang menganggur karena dibebaskan tugas kemiliteran demobilisasi. Pertanian
tidak dapat menghasilkan cukup untuk memberi makanan penduduk, meski ada
pembagian jatah yang sangat ketat namun tetap saja ada penyelewengan terhadap
makanan tersebut mengakibatkan banyak penduduk yang kelaparan.
Sekutu memberlakukan pelucutan senjata,
liberalisasi, unifikasi wilayah dan desentralisasi ekonomi di Jepang. Sekutu
yang dimotori oleh Amerika Serikat, menginginkan kemakmuran dan kekuatan
ekonomi di Jepang saat itu tidak terkonsentrasi, tetapi harus lebih
disebarluaskan (desentralisasi) dan dijadikan perusahaan publik dalam kerangka
demokrasi.
Kemudian
dibentuklah konstitusi baru yang memerintah di Jepang meskipun konstitusi baru
Jepang telah dibentuk ternyata langkah yang telah dilakukan oleh MacArthur ini
tidak berhasil karena terjadinya reinkarnasi raksasa zaibatsu menjadi
raksasa yang termodifikasi yaitu Keiratsu. Tepat sekali kiranya sebuah buku
yang ditulis oleh Jhon Gunter pada tahun 1974 dengan judul “The Riddle of
MacActhur”.
Pertumbuhan
keiretsu yang begitu cepat serta mengagumkan bukanlah karen
faktor-faktor internal Jepang semata. Namun lebih disebabkan kesalahan-kesalan
kebijakan sekutu yang diuat dan dilaksanakan SCAP yaitu:
1. Konstitusi
baru Jepang yang dipaksakan
2. konstitusi
baru yang melarang pembangunan kekuatan militer
3. SCAP
di dalam kebijakannya tidak pernah menghancurkan atau bahkan meelikuidasi
seluruh lembaga keuangan bank yang tergabung dalam zaibatsu.
4.
Krisis di Semenanjung Korea
antara tahun 1951-1953 yang akhirnya berkembang menjadi perang terbuka antara
Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang kapitalis, memaksa AS atas nama
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut campur tangan terjun ke medan perang
Korea dengan mengerahkan kekuatan militernya baik dari angkatan darat, laut
maupun udaranya secara besar-besara.
Akibatnya, akumulasi
kesalahan-kesalahan kebijakan AS inilah yang justru mempunyai andil besar dalam
mempercepat proses reinkarnasi dari raksasa zaibatsu dan muncul raksasa
baru yang dikenal dengan keiretsu serta memiliki pola dasar, struktur
dan mekanisme kerja yang mirip meskipun tidak serupa.
Setelah sekutu mengakhiri
pendudukannya di Jepang, hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang masih
terjalin dengan baik. Hubungan yang terjalin dengan baik tersebut dibuktikan
dengan adanya sistem Bretton Woods. Salah satu bagian dari sistem baru tersebut
adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang dibentuk berdasarkan
anggapan bahwa perdagangan bebas adalah sarana terbaik untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Bagi Jepang yang pembangunan ekonominya sangat tergantung
pada perdagangan luar negeri, sistem ekonomi baru tersebut sangat bermanfaat
dan berharga. Sistem tersebut tidak hanya memungkinkan Jepang meningkatkan
volume perdagangan dan memperoleh manfaat yang lebih besar, tetapi juga
meningkatkan efisiensi dengan ditempatkanya perusahaan-perusahaan Jepang ke
dalam ajang persaingan Internasional dan memperluas pasar.
DAFTAR
PUSTAKA
W.G. Beasley. Pengalaman Jepang: Sejarah Singkat Jepang. penerjemah Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2003.
Kebangkitan
Dan Kemakmuran Jepang. Bekerja Keras Berlandaskan Nilai-Nilai Luhur diunduh dari http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?option=com content&view=article&id=59:kebangkitan-dan-kemakmuran-jepangbekerja-keras-berlandaskan-nilai-nilai-luhur&catid=3 3&Itemid=138 pada tanggal
25 Desember 2012.
Kebangkitan Jepang-Sejarah Negara Jepang diunduh dari http://www.woamu. mangaku.net 2012/02/kebangkitan-jepang-sejarah-negara.html pada tanggal 20 Desember 2012.
Rina Sukmara dan Yusy Widarahesty, Perkembangan Diplomasi LUar Negeri Jepang Di
ASEAN Pasca Perang Dunia II (Studi Tentang Sejarah Diplomasi Jepang Dari
1970-1997), (Jakarta:
Prosiding Bidang Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora, 2011), hlm. 283.
Jepang
Pasca Perang Dunia II, Universitas Sumatra
Utara, hlm. 19.
Arif Nugraha, Pembangunan Ekonomi Jepang Pasca Perang
Dunia II, diunduh dari http://sukmazaman.blogspot.com/2012/01/pembangunan-ekonomi jepangpasca-perang.html pada tanggal 20 Desember 2012.
[1] W.G. Beasley, Pengalaman Jepang: Sejarah Singkat Jepang,
penerjemah Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. Xxx.
[2] Ibid, hlm. 34.
[4] Kebangkitan Dan Kemakmuran Jepang. Bekerja Keras Berlandaskan
Nilai-Nilai Luhur diunduh dari
http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?option=comcontent&view =article&id=59:kebangkitan-dan-kemakmuran-jepang-bekerja-keras-berlandaskan-nilai-nilai-luhu r&catid=33&Itemid=138 pada tanggal 25
Desember 2012.
[5] Kebangkitan Jepang-Sejarah Negara Jepang diunduh dari http://www.woamu. mangaku.net 2012/02/kebangkitan-jepang-sejarah-negara.html pada tanggal 20 Desember 2012.
[7] Rina Sukmara dan Yusy
Widarahesty, Perkembangan Diplomasi LUar
Negeri Jepang Di ASEAN Pasca Perang Dunia II (Studi Tentang Sejarah Diplomasi
Jepang Dari 1970-1997), (Jakarta:
Prosiding Bidang Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora, 2011), hlm. 283.
[9]Arif Nugraha, Pembangunan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II, diunduh dari http://sukmazaman.blogspot.com/2012/01/pembangunan-ekonomi-jepang-pasca-perang.html pada tanggal 20 Desember 2012.